Pertanyaan:

Assalamu’alaikum w. w.

Pelaksanaan ibadah umat Islam khususnya ibadah shalat fajar (shubuh) dan shalat Jum’at ada 2 (dua) kelompok yang berbeda tata caranya; suatu kelompok pada rakaat akhir shalat fajar (shubuh) imamnya membaca doa qunut dan makmumnya angkat tangan mengaminkan, sedangkan kelompok lainnya pada rakaat akhir shalat fajar (shubuh) imam dan makmum tidak membaca doa qunut. Namun jika kedua kelompok tersebut shalat fajar (shubuh) bersama dan imamnya dari kelompok yang baca doa qunut, semua makmum ikut mengaminkan dan angkat tangan kecuali kelompok yang tidak pakai qunut tetap berdiri dan tidak mengangkat tangannya selama imam membaca doa qunut.

Demikian pula masalah shalat Jum’at, ada masjid yang melakukan adzan 2 (dua) kali dan ada pula masjid-masjid yang adzan hanya 1 (satu) kali saja (ketika khatib shalat Jum’at naik mimbar mengucapkan salam kemudian adzan dikumandangkan terlebih dahulu oleh muadzin sebelum khutbah dibacakan).

Pertanyaannya, tata cara ibadah shalat yang mana pantas diikuti dan sesuai menurut tuntunan al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw yang sah?

Jawaban dan penjelasan Majelis selaku pengasuh tanya jawab agama di Suara Muhammadiyah sangat kami harapkan dengan maksud supaya diketahui dan dipergunakan sebagai pedoman pelaksanaan ibadah shalat yang benar bagi semua umat Islam. Terima kasih atas perhatian dan jawabannya.

Wassalamu’alaikum w. w.

Pertanyaan dari:
H. Alijasa Murni dkk., Pontianak, Kalimantan Barat
(disidangkan pada hari Jum’at, 16 Zulhijjah 1435 H / 10 Oktober 2014)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam w. w.

Terima kasih atas pertanyaan Saudara H. Alijasa Murni dan kawan kawan yang mudah-mudahan dirahmati oleh Allah. Permasalahan ini merupakan khilafiyah, sehingga Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berusaha untuk memberikan jalan keluar dengan melakukan ijtihad sebagaimana yang telah diputuskan. Berikut jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang saudara ajukan.

1. Tata cara ibadah shalat shubuh

Mengenai tata cara shalat shubuh sudah ada tuntunan di dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), terbitan tahun 2011 halaman 78-84, sedangkan mengenai permasalahan qunut sudah dibahas di dalam Buku Tanya Jawab Agama jilid 6 cetakan ke 4/2013 halaman 40-44. Berikut kami ulangi kutipannya:

Mengenai qunut pada salat shubuh, Muhammadiyah berpendapat :

1. Bahwa qunut dengan arti berdiri lama untuk membaca dan berdoa di dalam shalat, itu masyru’ (ada tuntunannya).
2. Tidak membenarkan adanya pengertian qiyam di atas dikhususkan untuk qunut shubuh yang sudah dikenal dan diperselisihkan hukumnya.

Penjelasan:

Qunut shubuh

Di samping makna asli dari perkataan qunut yang berarti tunduk kepada Allah dengan penuh kebaktian, dalam keputusan Muktamar, bahwa makna qunut berarti berdiri lama dalam shalat dengan membaca ayat al-Quran dan doa sesuai tuntunan Nabi Saw. sebagaimana dapat diambil pengertian tersebut dari hadis:

أَخْبَرَنِى أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ. [رواه مسلم]

“Abu Zubair dari Jabir telah mengabarkan kepada kami, dia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Shalat yang paling utama ialah qunut yang lama.” [HR. Muslim]

Pada buku fikih klasik, di masa lampau orang telah cenderung untuk memberi arti khusus pada apa yang dinamakan qunut, yakni ‘berdiri sementara’ pada shalat shubuh sesudah rukuk pada rakaat kedua dengan membaca:

اَللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْت …

Pada Muktamar Tarjih diputuskan:

1. Setelah diteliti kumpulan macam-macam hadis tentang qunut, maka Muktamar berpendapat bahwa qunut sebagai bagian daripada shalat, tidak khusus hanya diutamakan pada shalat shubuh.
2. Bacaan اَللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْت … dalam shalat shubuh itu sanadnya dhaif karena terjadi keterputusan pada perawi Muhammad bin Ali. Muhammad bin Ali adalah Abu Ja’far al-Baqir Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dia adalah tabi’in yang tsiqah, akan tetapi dia tidak bertemu dengan Hasan bin Ali karena Muhammad bin Ali lahir pada tahun 56 H sedangkan Hasan bin Ali wafat pada tahun 50 H.
3. Penerapan hadis riwayat Hasan tentang doa اَللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْت … khusus dalam qunut shubuh tidak terdapat tuntunannya.

Terkait dengan shalat Jama’ah, Nabi Muhammad Saw bersabda:

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ الزُّهْرِي قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُوْلُ: سَقَطَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ فَرَسٍ فَجُحِشَ شِقُّهُ الْأَيْمَنُ فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ نُعُوْدُهُ فَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَصَلَّى بِنَا قَاعِدًا فَصَلَيْنَا وَرَاءَهُ قُعُوْدًا فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوْا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوْا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُوْلُوْا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوْا قُعُوْدًا أَجْمَعُوْنَ. [رواه مسلم]

“Sufyan bin ‘Uyainah telah menceritakan kepada kami dari az-Zuhri, ia berkata: Saya mendengar Anas bin Malik berkata: Nabi Saw baru saja jatuh dari kuda, kemudian terseset bagian badannya sebelah kanan. Kemudian kami masuk ke rumah beliau untuk menengoknya, lalu datanglah waktu shalat, kemudian beliau shalat sambil duduk bersama kami, kemudian kamipun shalat di belakang beliau sambil duduk. Setelah selesai shalat, beliau bersabda: Sesungguhnya imam (shalat) itu diangkat untuk diikuti; maka apabila ia bertakbir, bertakbirlah kamu, dan apabila ia bersujud, bersujudlah kamu, dan apabila ia mengangkat kepala, angkatlah kepalamu, dan apabila ia mengucapkan Sami’allahu liman hamidah (Allah mendengarkan orang yang memuji-Nya), maka ucapkanlah Rabbana walakal-hamdu (Ya Tuhanku, hanya bagi-Mu segala pujian), dan apabila ia shalat sambil duduk, shalatlah kamu sekalian sambil duduk.” [HR. Muslim]

Berdasarkan hadis di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa makmum itu harus mengikuti imam dalam semua gerakan shalat dan makmum diharamkan mendahului gerakan imam. Namun dalam kasus saudara, seorang makmum tidak wajib mengikuti imam dalam hal yang tidak diyakininya yaitu membaca doa qunut karena dalam shalat harus ada tuntunan yang jelas sebagaimana kaidah fiqhiyyah yang terdapat dalam buku kaidah-kaidah fikih karangan Prof. H. A. Djazuli yang berbunyi:

اْلأَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ الْبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ

“Hukum asal dalam ibadah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.”

Ketika seorang makmum yakin kalau doa qunut tidak dituntunkan dalam shalat shubuh, maka ia boleh tidak membacanya meskipun imam membacanya. Akan tetapi, ia tidak boleh mendahului gerakan imam, sehingga ketika imam membaca doa qunut makmum cukup mendengarkan dan tetap berdiri seperti berdirinya imam.

2. Jumlah adzan dalam shalat Jum’at

Adapun tata cara mengenai shalat Jum’at, terdapat di dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) terbitan tahun 2011 halaman . Disebutkan dalam sebuah hadis:

حَّدَّثَنَا آدَمُ قَالَ: حَدَّثَنَا اِبنُ أَبِي ذَئْبٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدٍ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ الَّنِبِّي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ. [رواه البخاري]

“Adam telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi Dza’bin telah menceritakan kepada kami, dari az-Zuhri, dari Sa’ib bin Yazid, ia berkata: Adalah seruan pada hari Jum’at itu pertama (adzan) tatkala imam duduk di atas mimbar. Hal sedemikian itu berlaku pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar. Pada masa khalifah Usman ra. dan orang semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’ (nama tempat di pasar).” [HR. al-Bukhari]

Berdasarkan hadis di atas, adzan shalat Jum’at pada masa Rasulullah Saw hanya ada sekali, namun pada masa Usman beliau menambah adzan ketiga (dikatakan seruan/adzan ketiga karena adzan dan iqamat diistilahkan dua seruan/adzan. Seruan ketiga ini dilakukan sebelum imam naik ke mimbar). Jadi, tata cara adzan pada shalat Jum’at ada dua macam; pertama dengan satu kali adzan pada saat imam naik ke atas mimbar; dan kedua dengan dua kali adzan pada saat sebelum imam naik ke mimbar dan saat imam sudah berada di atas mimbar.

Mengenai adzan shalat Jum’at ini, Majelis Tarjih Muhammadiyah menuntunkan tata cara yang pertama, yaitu hanya satu kali adzan tatkala imam naik ke atas mimbar sebagaimana yang dipraktikkan pada masa Nabi Muhammad Saw, karena Muhammadiyah berpegang kepada semboyan ar-ruju’u ilaa al-Qur’an wa as-sunnah (kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah), sedangkan adzan dua kali yang dipraktikkan Usman dengan alasan umat Islam semakin banyak tidak dipakai Muhammadiyah, karena dipandang tidak relevan lagi dengan keadaan sekarang yang sudah banyak masjid tersebar di lingkungan masyarakat sehingga satu panggilan saja sudah cukup.

Wallahu a’lam bish-shawab

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah: No. 9, DOWNLOAD