Sarapan Kata

KMO Indonesia

KMO Batch 50

Kelompok 8

Cakrawala Pena

SJB

Jumlah Kata Day 2

Abi Habibi

(The Swan)

“Perbuatan yang kalian lakukan selama ini sangat jelas melanggar tuntunan. Kalian secara terus menerus melanggar tanpa menghiraukan halal dan haram terhadap segala sesuatu yang kalian lakukan selama ini”

“Bukanlah begitu sebenarnya tingkah laku karena kalian sebagai panutan orang-orang di sekitar sini. Kendati tak seorang pun mengetahui tindakan kalian, namun Tuhan Yang Maha Tahu mengetahui. Apa yang kalian laksanakan dengan segenap tenaga kalian akan sia-sia belaka karena tidak mendatangkan keuntungan bagi kehidupan kalian. Bahkan lebih jauh bisa menimbulkan malapetaka bagi kalian terutama nanti di kehidupan setelah mati”

“Kalian akan menjadi insan yang benar-benar merugi. Kalian akan menjadi manusia yang bangkrut karena segala amal baik kalian akan diminta paksa oleh orang-orang yang pernah kalian zalimi, aniaya, sakiti, tindas, musuhi, campakkan, diskreditkan, kerdilkan, isolasikan, pojokkan, tidak berdayakan, dan masih banyak lagi. Kala itu kalian sama sekali tidak berdaya dan hanya bisa meratap dan menangis melolong seperti anjing kudisan yang kelaparan dan sekarat menanti ajal, sedangkan kalian masih harus melewati gerbang timbangan Sang Maha Adil dan Bijaksana”

“Coba renungkan baik-baik itu semuanya sebelum tidur nanti. Perbuatan yang Kalian intensifkan sejauh ini nyata-nyata tidak dihalalkan Allah. Dia mengharamkan tingkah laku kalian semacam itu. Sungguh sangat ironis memang. Di satu sisi kalian adalah orang-orang panutan yang getol menyerukan amar ma’ruf nahi mungkar, mendengung-dengungkan kebajikan dan melarang kekejian. Namun ternyata di sisi yang lainnya, kalian tidak henti-hentinya sibuk dengan urusan yang memubazirkan waktu dan umur yang tidak panjang”

“Sebetulnya, apa salahku? Apa dosaku? Sehingga kalian begitu inginnya membinasakanku dari muka bumi ini? Aku tidak habis pikir. Aku hanya bisa bersiap-siap menantikan ajal yang bisa datang walau tak diundang. Aku ingin menjadi pejuang Allah kendati itu hanya dalam lingkup yang kecil. Aku masih berhasrat untuk terus berpuasa setiap hari. Aku masih berkeinginan untuk senantiasa bangun malam dan mencurahkan keluh kesahku kepada Yang Mengadakanku di dunia ini yang asalnya tiada”

“Aku masih berkehendak untuk tidak henti-hentinya menyisihkan sebagian harta bendaku walaupun tidak banyak pada musala, orang-orang yang membutuhkan, dan keperluan baik lainnya. Seharusnya kalian juga seperti itu. Bahkan, bisa jauh di atas itu karena kalian adalah orang-orang spesial, apalagi kamu hai Jono! Kamu sudah menunaikan rukun islam yang kelima”

“Kamu adalah seorang haji, Haji Harjono. Islammu sebenarnya sudah sempurna sebab kamu sudah melaksanakan semua isi rukun islam. Tetapi … Hhh, aku tidak habis pikir. Sekali lagi aku tidak habis pikir”

“Bulan lalu dan bulan sebelumnya … juga bulan ini, aku sudah memberikan seratus ribu rupiah tiap bulannya pada anakmu hai Bakri! Aku memberikannya secara ikhlas tanpa sepengetahuan orang lain. Hanya anakku saja si Amran yang kusuruh memberikan uang tersebut yang tahu, selain itu tidak! Aku mengeluarkannya dengan harapan agar kamu dan kakakmu Haji Jono bisa menyadari kekeliruan kalian selama ini dan menyudahi yang sudah-sudah agar kita bisa hidup bertetangga dengan rukun, aman, tenteram, dan damai tanpa ada persoalan-persoalan yang berarti yang bisa menimbulkan gesekan kepentingan sosial dalam lingkungan tempat tinggal kita ”

“Apa perlu aku nikahkan anakku itu dengan anakmu supaya kita bisa menciptakan suasana kehidupan ukhuwah Islamiyah? Agar sifat kekeluargaan makin erat? Kok Kalian diam saja? Kalian memang benar-benar menyebalkan. Pergi saja sana! Jangan hanya bengong dari kejauhan seperti itu, seperti kucing yang mencari kesempatan untuk melahap ikan di atas meja. Jika tindak tanduk kalian tetap seperti itu, maka aku pun sudah bersiap semenjak beberapa minggu yang lalu”

“Tongkat selalu ada di dekatku untuk menghadapi kalian andaikan kalian datang dengan mendadak. Aku akan menghantamkan tongkat ini pada kepala kepala kalian supaya habis riwayat kalian. Selain tongkat, aku juga sudah menyiapkan kayu, batu pengasah pisau, sekop, dan peralatan perkakas lain yang sudah aku ambil ketika anakku si Amran tidak mengetahuinya. Semuanya lengkap berada di sekitarku yang aku letakkan di dalam kamarku. Semua benda ini kupersiapkan khusus untuk menyambut kalian yang bodoh, dungu, dan munafik”

“Kafiir … kafiiir … munafiik … munafiiik … dunguu … dunguuu … bentoo … bentooo … edaan … edaaan … sintiiing … gilaa!”

“Hei! Jangan hanya berteriak seperti orang bebal begitu! Ayo sini kalau kalian memang benar-benar jantan! Jangan jadi penakut! Ayo, aku sudah siap. Maju sini! Jangan berteriak seperti maling begitu. Mari sini! Ayo bertarung sampai penghabisan. Hei! Kenapa hanya diam! Hei! Kenapa bersembunyi! Bersuara tapi tidak ada rupanya. Itu namanya munafik! Itu namanya pengecut! Itu namanya kentut! Heei! Kok masih diam saja! Dasar dungu! Dasar edan! Memang kalian adalah kucing kudis yang bau!”

“Ran, Amran! Dimana kamu? Bapak mau ke belakang. Bapak mau ke kamar mandi dulu, ya? Sudah mau petang ini. Bapak mau mandi dan shalat. Kamu berjaga di ruang tamu sini, ya? Barangkali mereka mau bertamu ke sini, kamu yang mengurusnya, ya?”

Amran yang sedari tadi menonton televisi dan mendengar bapaknya berbicara demikian dari kursi di ruang tengah hanya tersenyum kecil. Jarak dari ruang tengah ke kamar mandi berkisar sepuluh meter, namun itu ditempuh bapak Amran sekitar minimal sepuluh menit. Dengan tertatih-tatih, bapak Amran berjalan dengan bantuan dinding-dinding rumahnya menggunakan tangan-tangannya berpegangan atau sekadar menahan berat badannya.

Tongkat yang sejak beberapa waktu sebelumnya di tangannya kini sudah dipindahkan ke dalam kamarnya. Lemari, meja, bupet, rak, atau apa saja yang kebetulan berada di depan dinding dan dibuat pegangan oleh tangan kaku bapaknya ketika berjalan, maka sudah bisa diperkirakan benda-benda itu lambat laun bisa menjadi sedikit penyok dan lama-lama bisa rusak karena dorongan tenaga yang besar bapak Amran sebab susahnya dia menguasai tubuhnya yang sudah lanjut usia untuk berjalan di dalam rumah setiap harinya.

Banyak mondar-mandir di dalam rumah dan kurang jelas juga tujuannya adalah bagian rutinitasnya. Yang sering dilakukan pada saat seperti itu adalah duduk termenung dengan suatu benda yang berada di dekatnya. Dia senantiasa melakukan itu untuk berjaga-jaga katanya. Benda-benda itu bisa berupa kayu berukiran kaligrafi yang dibungkus dengan kertas koran dan diikat dengan karet kecil. Biasanya dia menyelipkannya di antara perut dan baju baju jas tebal yang dikenakan.

Tidak tanggung-tanggung dia menyelipkan dua buah kayu sehingga semakin mempersulitnya untuk duduk maupun berjalannya. Dia menganggapnya itu adalah hal yang biasa. Semua anaknya yang berjumlah tujuh orang dan sudah menikah semuanya. Mereka sudah mafhum terhadap hal yang demikian. Dan semuanya tanpa dikomando menyatakan itu adalah tingkah laku yang normal dan wajar untuk seorang Pak Abi panggilan akrab untuk bapak mereka.

Amran dan istrinya Juwita menikah sekitar enam tahun lalu dan kini tengah mempunyai seorang putri cantik bernama Syakira. Istrinya Juwita berasal dari tetangga desa Amran. Dia sehari-harinya menjadi ibu rumah tangga yang baik saja. Merawat rumah adalah kesenangannya walaupun rumah tempat mereka tinggal sekarang sederhana.

Dia suka sekali menata dan merapikan benda-benda di dalam rumah sehingga tampak asri dan indah dipandang mata. Sering dia menyapu, mengepel, dan membersihkan rumah kendati tidak disuruh Amran. Bagi Amran dia adalah istri idaman setia yang pintar menyenangkan dan mengambil hati Amran.

Mereka hidup tenang dan tenteram bersama Abi Habibi bapak Amran serumah. Sedangkan Amran sehari-harinya mengerjakan sablon untuk melayani kebutuhan orang-orang di desa tempat tinggalnya ataupun di luar daerahnya. Pernah pula beberapa kali dia melayani konsumen dari luar kecamatan dan kota. Ini adalah sesuatu yang cukup membanggakannya karena dia membuka usaha sablon baru sekitar setahun sebelum menikah dengan gadis manis idamannya.

Dia menekuni usaha itu dengan segala pahit getirnya persaingan usaha sablon yang sudah ada jauh waktu sebelumnya, yakni sepuluh tahun lebih. Sedangkan usahanya bisa dikatakan masih mencari jati diri dan mambangun nama di tengah-tengah sederet nama usaha sablon dan percetakan yang punya kredibilitas yang lebih bagus. Dengan bermodalkan uang sekitar lima ratus ribu rupiah ditambah hutangan dari teman-teman akrabnya sehingga mencapai satu juta rupiah.

Di samping itu, modal lain yang sangat kuat bagi Amran adalah niat dan nekat secara spekulatif sebab dia terkenal sebagai sosok yang suka mencari tantangan dan hal-hal baru yang jarang atau tidak ada sebelumnya.

Pada waktu-waktu tertentu misalnya ketika bulan Haji dan bulan-bulan lain yang masih musim kemarau, maka order yang diterimanya akan berlimpah bahkan beberapa kali dia sampai merasa lelah yang luar biasa karena dia lembur sering sampai menjelang matahari muncul di pagi hari.

Undangan-undangan pernikahan, sunatan bocah, kartu nama, stiker, spanduk warung dan toko, dan spanduk bentang untuk kegiatan awal tahun sekolah, kegiatan pengajian di desa-desa, spanduk penyambutan, dan yang lainnya adalah keahliannya yang baru karena dia ulet bertanya pada teman-temannya yang mahir terhadap bidang itu. Juga sablon untuk tas, kaos, baju, topi, jilbab, kertas-kertas nota untuk tanda terima toko-toko dan untuk daftar menu di restoran, dan sebagainya.

Amran selalu bersibuk ria dengan pekerjaannya itu. Dia menikmati sekali pekerjaannya itu. Sering sekali Amran mengerjakan order konsumen pada malam hari dengan diiringi musik radio dari tape-recordernya yang walaupun sudah cukup tua namun masih bisa berfungsi dengan baik. Dia biasanya menyetel program lagu-lagu dangdut kesukaannya dari sebuah stasiun ternama di kotanya yang berdurasi panjang sampai pagi. Kadang dia memutar lagu-lagu yang juga dangdut dan sedikit pop dari kasetnya.

Terkadang juga pernah lupa waktu ketika order yang diterimanya menumpuk karena para konsumen yang datang padanya pada waktu yang hampir bersamaan dan minta selesai juga pada waktu yang hampir bersamaan. Namun dengan semangat yang membaja dia terus menekuni pekerjaan itu. Order satu orang saja bisa diselesaikan sekitar dua, tiga, atau empat hari jika order yang diminta dalam jumlah banyak. Apalagi kalau beberapa orang, tentu akan semakin membuatnya kurang tidur. Ada juga yang bisa diselesaikan satu hari jika order-nya sedikit semisal kartu nama dan lainnya.

Kendati begitu dia tetap mengikuti alur waktu yang terus melaju. Dia memang sengaja jarang menggunakan waktu pagi atau sore hari untuk menekuni pekerjaannya karena di samping memang mengantuk, dia juga bisa mengerjakan sesuatu yang lain untuk menambah penghasilannya. Dari strateginya ini ternyata cukup lumayan untuk membuat asap dapurnya terus mengepul walau waktunya tidak pasti, kadang dapat kadang tidak.

Terkadang tetangganya menyuruhnya membetulkan rumahnya, ada pula yang mengajak menjadi kuli bangunan, kadang pula dia pergi ke pasar tradisional yang cukup dekat dari rumahnya untuk membantu orang-orang yang berjualan di sana. Beberapa tetangganya memang berdagang di pasar itu.

Ada yang berjualan buah-buahan, makanan kecil, dan barang-barang lainnya. Ada juga yang mengajaknya untuk belanja buah-buahan atau barang kebutuhan lainnya ke luar kota. Namun khusus yang di pasar ini, tambahan penghasilannya termasuk jarang karena memang tidak sering orang-orang meminta bantuannya walau itu hanya untuk angkat-angkat barang dan itu pun tidak cukup banyak. Sedangkan istrinya Juwita kadang-kadang juga turut membantunya mengurusi usaha sablonnya ketika ada order dari konsumen.

Pada waktu pagi hari, kadang dirinya dan kawan sevisi dan semisi yang terkenal dengan Trio Burung Emprit, yang mempunyai maksud Ahmad Amran, Sapardi Umam, serta Imam Turham, secara konsisten bertukar pikiran memikirkan keadaan kampung tempat mereka tinggal dari waktu ke waktu.

Mereka tidak segan mencari solusi-solusi terhadap keadaan kampung utamanya yang bergandengan dengan urusan agama. Imam Turham yang jebolan pondok pesantren salaf kerap kali menjadi inspirator kegiatan. Dia pandai dan lincah bagai seekor harimau. Jadi misalnya ada orang-orang atau anak-anak dari warga yang jumlahnya empat puluh delapan kepala keluarga yang sekiranya melakukan tindakan yang berseberangan dengan tatanan agama, maka dia yang sering menjadi tembok penghalang bagi mereka.

Sering juga dia menerapkan metode ngopi bareng bersama mereka yang sebenarnya adalah rivalnya. Kemampuannya berkelakar bersama mereka ketika sedang ngopi di warkop patut diacungi jempol. Kebetulan di pertengahan gang kampung mereka yang berbentuk huruf el terdapat toko yang buka dari pagi sampai tengah malam. Dengan dibantu Ahmad Amran dan Sapardi Umam mereka menempuh jalur itu untuk kemajuan kampung tercinta mereka.

Ketika ada hajatan orang sekampung, mereka atau juga kadang dari luar kampung, mereka dimintai bantuan nderes atau istilah lainnya adalah membaca alquran sampai selesai. Mereka bertiga juga kadang-kadang menjadi partner tokoh agama di kampung tersebut.

Pada suatu pagi, Iqbal, kakak Amran yang tinggal di desa sebelah yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah Amran mampir ke rumahnya. Ini sudah biasa kakak Amran lakukan karena setiap pagi dia dan istrinya pergi ke pasar untuk urusan belanja. Istrinya membuka usaha toko nasi di desanya. Dia mengantarkan istrinya berbelanja setiap hari.

Setelah mengantarkan istrinya ke pasar, dia biasanya mampir ke rumah Amran dan istrinya pun kemudian menyusul ke rumah Amran setelah selesai berbelanja cukup banyak.

Terkadang ketika sore hari kebetulan mereka berdua juga membeli sesuatu di jalanan yang cukup ramai yang dekat dengan tempat tinggal Amran maka mereka Iqbal dan Rihlah istrinya akan mampir pula ke rumah Amran seperti saat ini, sambil sekalian menjenguk Abi Habibi bapak Iqbal.

Terkadang juga barang-barang belanjaan tersebut dititipkan kepada Mujahidin, kakak Amran yang lain yang nomor lima yang rumahnya tidak jauh dari rumah Amran. Kadang-kadang mereka juga mampir ke rumah Mujahidin. Iqbal adalah kakak Amran yang nomor empat. Mujahidin dan istrinya membuka usaha toko di pinggir pinggir jalan raya dekat dengan pasar. Letaknya yang sangat strategis karena berada tempat keramaian membuat Mujahidin membuka toko itu pagi hingga malam secara bergantian dengan istrinya. Sedangkan istri Iqbal setelah menitipkan barang-barang belanjaannya di toko Mujahidin, maka dia pun menyusul Iqbal ke rumah Amran sambil sekalian menjenguk mertuanya. Kadang pula dia cukup lama berada di rumah Amran.

“Ran, bagaimana keadaan atap seng rumahmu tadi malam ketika hujan, apakah masih ada air yang bisa masuk ke dalam rumahmu ?” tanya Iqbal memulai pembicaraan ketika istrinya belum datang.

“Wah, sudah beres, Mas. Ternyata plastik tambal untuk menutupi atap seng yang berkarat dan lobang terkena air kini sudah tidak ada masalah yang berarti,” jawab Amran. Awal pembicaraan itu kemudian berlanjut ke topik-topik lain hingga tidak terasa hari cukup siang namun istri Iqbal belum datang.

Ketika dua bersaudara itu sedang gayeng berbincang santai, tampak terdengar suara kaki melangkah menuju mereka yang berada di ruang tamu. Terdengar juga lemari dan kursi yang bersuara karena dipakai untuk pegangan yang cukup kuat karena menahan badan yang terlihat kaku. Sudah bisa ditebak, itu adalah suara Abi, bapak kesayangan mereka. Namun suara langkah itu lambat sekali karena memang bapak mereka tidak bisa berjalan secara biasa.

“Ran, Amran! Kamu berbicara dengan siapa? Kok kedengarannya ada sesuatu yang akan terjadi. Nggak apa-apa, aku sudah siap kok.”

Yang diajak bicara pun menyahut. Iqbal mewakili jawaban saudara-saudaranya seraya tersenyum panjang dan suara yang cukup keras karena memang pendengaran bapak mereka tidak bisa berfungsi optimal.

”Wah, Bapak. Ini lho Pak, anak Pean yang paling ganteng sekampung, Iqbal.”

Mendengar penjelasan anaknya, dia pun berganti berujar.

“Oh, Iqbal tho. Iqbal dengarkan Bapak mau bicara, ya? Kamu Amran, Mujahidin, dan Umar berani nggak mendatangi rumah Haji Marjono dan Bakri untuk mengonfirmasi teroran mereka selama ini kepada Bapak? Juga tandaskan kepada mereka, jikalau mereka masih terus menggangguku dengan cara-cara yang sama kalian ajak mereka duel sampai ada yang kalah dan menang.”

Dengan suara yang menggetarkan tubuhnya sendiri karena bicaranya tidak lancar dan hampir susah untuk memahami setiap kata yang keluar dari mulutnya, dia berkata demikian. Namun dia selalu mengatakan setiap ucapannya dengan suara yang keras dibantu bibirnya yang masih merah jambu dan juga gigi-giginya yang tampak tinggal tiga dari luar.

“Kalian berani nggak menghadapi mereka?” tambahnya. Amran dan Iqbal yang kini bersikap lebih tenang menjawab dengan disisipi banyolan yang menghibur agar bapaknya melupakan topik yang selalu diulang-ulang setiap saat ketika anak-anaknya datang untuk menjenguk dan sekadar bermain agar rumah Amran tidak sepi. Juga agar bapak mereka berbaikan dengan Haji Marjono dan Pak Bakri.

“Wah wah wah … Ya, sudah jelas kami tidak berani Pak, karena mereka punya meriam bom. Nanti Amran dan aku akan dibom, Pak. Kalau dibom begitu bagaimana, Pak? Nanti kita semua akan mati. Dan Pean tidak punya anak laki-laki lagi,” jawab Iqbal sedikit mencoba mencairkan dan mendinginkan pikiran bapak mereka yang kerap tegang dan absurd.

“Lho, Kalian kan dua orang sedangkan mereka juga sama. Kalian tentu menang nanti, kalian kan masih muda. Kalian kok tiba-tiba menjadi penakut begitu?” jawabnya tak mau kalah.

“Iya Pak, kami semuanya penakut dan sedikit pun kami tidak berani dengan mereka,” jelas Amran dengan sedikit senyum terlihat di mulutnya.

“Hmm … Kalian ini, gimana tho” katanya dengan suara pelan kali ini, juga tampak disertai gerutuan di sela-sela keriput wajahnya yang mengeras dan pipinya sedikit ada warna semacam titik hitam sebab dimakan usia.

Sambil berkata begitu, bapak mereka kembali lagi ke dalam kamarnya dan duduk di bawah bersandarkan dinding tembok kamarnya yang kecoklatan. Tinggallah kini Amran dan Iqbal yang di ruang tamu sambil menonton televisi.

“Mukmin melawan kafir-kafir. Aku sebagai mukmin yang menggantungkan segala sesuatunya hanya kepada Tuhan, tidak akan mundur sedikitpun. Aku tidak mencari musuh, tapi kalau ada musuh aku tidak akan lari karena lari itu artinya munafik, penakut! Singa perang melawan kafir-kafir laknat. Di mana-mana singa akan menang jika bertarung dengan manusia kafir macam kalian. Situ yang memulai lebih dahulu. Situ yang pertama kali membuka gerbang permusuhan di antara kita”

“Aku tidak akan menjadi penakut yang licik. Kalian melanggar tuntunan nabi dan Allah. Kalian melanggar fatwa yang diajarkan nabi. Kalian juga sama dengan menginjak-injak alquran karena kalian bertingkah laku yang berseberangan dengan ajaran yang lurus. Wong orang tidak kafir kok dikatakan kafir. Wong orang tidak kufur kok dikatakan kufur. Juga, kalian sering kali mengatakan aku adalah munafik, tapi justru kalian sendiri yang munafik karena lisan dan hati kalian tidak sewarna. Eh! … Kalian berdua! Ayo masuk! Ayo sini!”

Terdengar suara keras namun terbata-bata Abi Habibi dari kamarnya disertai suara gesekan-gesekan benda-benda di sekitarnya seperti pintu dinding, tikar, tempat tidur dari besi, dan lantai sehingga menimbulkan suara seperti suara yang sangat tergesa-gesa.

”Kalian sini! Ayo aku sudah siap! Teriaknya.” Iqbal dan Amran yang sedang berada di ruang tamu dengan segera pindah ke kamar bapaknya. “Bapak, jangan keras-keras. Nanti kalau ada orang lewat di depan rumah kita bagaimana?” Iqbal coba menjelaskan.

“Itu lho Jono dan Bakri berteriak-teriak seperti anjing padaku. Mereka licik berteriak seperti itu dari kejauhan. Seharusnya kalau ksatria mereka bisa ke sini langsung. Tidak seperti itu. Pak, sudah. ini Pak … radio baru. Kang Iqbal yang tadi membelikan untuk Pean. Bagus kan, Pak?” Amran mencoba mengalihkan perhatian bapaknya.

“Oh ya, sudah. Memang bagus. Kamu beli di mana, Bal?” tanya Abi Habibi pada Iqbal. “Ini beli di sana Pak, di Toko Sumber Makmur, toko miliknya Haji Sabar” jelas Iqbal.

“Oh begitu, tho. Kalau begitu ini … sebentar ya. Ini, di laci ini ada uang Bapak. Tolong ambilkan sebagai penggantinya,” kata Abi Habibi pada Iqbal.

“Oh, nggak usah, Pak. Seperti apa saja Bapak ini. Begitu saja kok pakai mengganti segala. Memangnya Iqbal ini orang lain?

“Memangnya harganya berapa sih, Bal?” Tanya bapak mereka lagi. “Wah ini mahal sekali, Pak. Harganya satu juta dua ratus ribu rupiah. Mahal kan, Pak?” Kata Iqbal mencoba membuat bapak mereka tertawa.

“Wah wah wah … kok mahal banget. Bapak tidak bisa menggantinya, nih” katanya sembari tertawa keras meledak. “Makanya nggak usah mengganti uangku,” jawab Iqbal seraya tersenyum. Memang bapak mereka bisa dikatakan termasuk orang yang dermawan terhadap anak-anak mereka.

Dia tidak akan segan-segan dan eman memberikan uangnya kepada mereka. Juga untuk kepentingan keagamaan, dia pun mudah mengeluarkannya. Maklumlah dia adalah pensiunan karyawan di sebuah rumah sakit milik pemerintah pada bagian logistik dengan pangkat dan golongan kerja yang lumayan walau tak tinggi, walaupun dia dulu sekolahnya Sekolah Rakyat tidak sampai tamat. Setiap tanggal empat Amran yang mengambilkan gaji bapaknya di kantor pos untuk bapak mereka.

Sudah menjadi kebiasaan bapaknya kemudian dia disuruh sekadar membagi-bagikan gajiannya itu walaupun tidak banyak kepada semua cucunya. Kendati anak-anaknya sudah berulang kali mengingatkan kepadanya untuk tidak usah memberikan uangnya itu sampai capek mengingatkannya, namun dia tetap memberikannya. Katanya untuk menyenangkan cucunya.

“Aku berbeda dengan ibumu dulu ketika masih hidup. Kalau ibumu dulu jika ada uang sisa dari gajian bapak, maka dia akan menyimpannya atau membelikannya untuk menambah barang-barang keperluan atau benda-benda di rumah supaya rumah bertambah bagus. Tapi kalau bapakmu ini berbeda”

“Bapak lebih suka menyedekahkannya kepada cucu-cucu dan musala, masjid atau kalian anak-anakku dan juga keponakan-keponakan bapak yang benar-benar membutuhkannya,“ jelasnya suatu ketika pada kami.

Setelah beberapa waktu jeda bapak mereka tidak melanjutkan pembicaraannya, maka kini bergantian Amran dan Iqbal yang berbicara.

“Ya, sudah. Bagus itu, Pak. Itu untuk persiapan dan bekal nanti ya, Pak?” timpal Amran. “Ya, itu memang tujuan bapak,” jelasnya. “Ya sudah, Pak. Sekarang ini Pak radionya. Pean bisa menyetel radio transistor ini ketika pagi setelah subuh, sebelum Maghrib, atau juga setelah isya. Banyak acara bagus pada waktu-waktu seperti itu yang Pean sukai,” jelas Amran.