JawaPos.com – Teknologi untuk melakukan penyadapan, seperti di film James Bond, kini begitu berkembang begitu pesat. Penyadapan hampir tidak mungkin diantisipasi. Bahkan, ratusan juta orang bisa disadap dalam waktu bersamaan. Menurut pakar kriptografi sekaligus Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha, ada dua metode penyadapan yang berkembang saat ini, yakni lawful interception dan tactical interception.

Keduanya menyadap dengan prosesi yang berbeda, tapi pada dasarnya mengambil semua data handphone (HP). “Kalau lawful interception ini bekerja sama dengan perusahaan provider,” ujarnya.

Proses lawful interception, lanjut Pratama, penegak hukum bekerja sama dengan provider dengan memasang server dan sejumlah peralatan. Lalu, nomor HP yang menjadi target dimasukkan ke alat tersebut dan semuanya bisa terekam. “Bisa sepuluh nomor HP, seratus, dan bahkan seribu orang,” ungkapnya.

Yang berbahaya itu, sama sekali tidak ada batasan kapasitas untuk peralatan tersebut. Orang ratusan juta se-Indonesia ini juga bisa disadap dalam waktu bersamaan. “Batasan untuk itu tidak ada. Peralatan bisa mengantisipasinya,” terang Pratama.

“Selanjutnya, memang perusahaan provider hanya memiliki call data recorder yang mendata histori penggunaan telepon. Sehingga tidak mengetahui isinya. Tapi, sekarang sudah ada IP data recorder,” jelasnya.

Dengan IP data recorder tersebut, penggunaan HP, seperti untuk telepon, SMS, chatting dengan aplikasi, membuka aplikasi tertentu, dan membuka Facebook, juga ketahuan. Semua data itu terambil dalam server dalam bentuk folder-folder tersendiri. “Semua terangkat tanpa terkecuali. Penegak hukum kalau menyadap dengan cara satu ini harus bekerja sama dengan semua provider,” jelas Pratama.

Kalau lawful interception harus dengan provider, proses tactical interception berbeda. Setidaknya, saat ini ada tiga tactical interception, yakni aktif, pasif, dan hybrid. Yang aktif mirip alat sadap portabel yang jarak penyadapannya terbatas sehingga harus mendekati target penyadapan. “Misalnya yang disadap gedung DPR, maka harus mendatangi lokasi. Misalnya di tempat parkir gedung DPR, jaraknya sekitar 1 hingga 5 kilometer dari target,” paparnya.

Bedanya dengan lawful, tactical interception yang aktif sama sekali tidak memerlukan atau memasukkan nomor HP. Artinya, data semua HP yang berada pada radius alat sadap itu akan terambil. “Bukan hanya HP yang sedang digunakan menelepon atau beraktivitas. HP yang tidak digunakan pun datanya otomatis terambil. Sebab, alat ini seperti fake BTS atau BTS palsu,” terangnya.

Sistem kerja sinyal HP, lanjut Pratama, secara otomatis mencari sumber sinyal terkuat. Kerja alat sadap aktif itu seperti menyaru sumber sinyal yang kuat sehingga HP akan otomatis memilih alat sadap tersebut. “Saat data diambil, kegiatan lain juga bisa dilakukan, yakni memanipulasi telepon, pesan singkat, dan sebagainya,” jelas dia.

Manipulasi itu misalnya menelepon dengan menggunakan nomor telepon yang disadap atau isi pesan singkat yang dikirim pemilik HP diubah. “Manipulasi bisa dilakukan karena telepon dan pesan singkat ini masuk ke alat sadap terlebih dahulu, baru kemudian di-forward ke BTS asli. Kelemahan aktif ini hanya terbatas radiusnya dan jumlah BTS-nya hanya 6 atau 12 channel,” papar Pratama.

Selanjutnya, alat pasif tactical itu juga portabel. Hanya, perbedaannya dengan yang aktif adalah tidak bisa memanipulasi telepon dan pesan singkat. Tapi, kelebihannya ada pada radius penyadapan yang sangat jauh. Plus dengan 260 channel BTS. “Semua data masuk dulu. Analisis dilakukan belakangan,” ucapnya.

Untuk yang hybrid, ia merupakan kombinasi alat sadap aktif dan pasif. Pratama menyatakan bisa melakukan manipulasi dan radiusnya jauh. Plus dengan channel yang sangat banyak. “Tapi, yang ini harganya sangat mahal. Biasanya lebih banyak yang memiliki lawful daripada hybrid,” ujar dia.

Semua itu teknologi penyadapan yang cukup tinggi. Namun, ada juga ghost phone yang sudah beredar di pasaran umum. Cara kerjanya dengan alat yang dipasang kartu telepon dengan dimasukkan nomor HP tertentu. “Bila ada suara di sekitar alat itu, alat itu otomatis menelepon ke HP yang tersimpan di kartu tersebut,” ujarnya.

Namun, lanjut Pratama, penyadapan tersebut dilakukan terbatas di ruangan tertentu, tidak menyadap komunikasi HP. Sehingga hanya pembicaraan dengan orang lain secara langsung yang bisa disadap. “Mirip seperti global positioning system (GPS) untuk kendaraan yang juga bisa melacak posisi dan mendengar suara sekitar,” ungkapnya.

Semua teknik penyadapan itu memang bisa diantisipasi dengan enkripsi atau penyandian berupa software, hardware, dan sebagainya. Sehingga memang bisa disadap, tapi tidak terbaca pesannya atau teleponnya. “Ya antisipasinya. Tapi, sebenarnya penyadapan di Indonesia ini sangat lemah. Baik regulasi maupun pengawasannya,” ucap dia.

Kelemahan tersebut bisa dilihat dari bila penegak hukum meminta izin pengadilan untuk bisa menyadap seseorang, bagaimana cara pengawasan pengadilan terhadap penyadapan tersebut? “Pengadilan memberikan izin, tapi tidak bisa mengawasi. Yang diizinkan itu tiga orang untuk disadap. Tapi, kalau penegak hukum menyadap lebih banyak, bisa apa pengadilan?” ungkap Pratama.

Maka penting bisa memperbaiki regulasi yang mengakomodasi pengawasan dan penggunaan alat sadap. Yakni dengan membuat regulasi untuk membikin semacam lembaga pusat intersepsi di Indonesia. “Itulah yang menjadi satu-satunya lembaga yang menyadap,” ujarnya.

Penegak hukum dengan izin pengadilan meminta lembaga pusat intersepsi menyadap. Setelah alat menyadap itu dipinjamkan, penegak hukum baru bisa menyadap. “Kalau penegak hukum menyadap orang melebihi izin, akan ketahuan dari data yang ada di alat penyadapan. Dalam sistem sudah terekam berapa orang yang disadap.”

Dengan pusat intersepsi tersebut, privasi masyarakat Indonesia juga akan terlindungi. Sehingga penyadapan yang dilakukan penegak hukum juga bisa terukur, kalau ada pelanggaran juga ketahuan. “Kalau sekarang, penegak hukum bila tidak menyadap, kita bisa apa?” ucap Pratama. (idr/c9/agm)