Bismillahirrahmanirrahim

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya pada tanggal 21 Dzulqa’dah 1421 H, bertepatan dengan tanggal 15 Pebruari 2001 M, yang membahas tentang fatwa yang diajukan oleh Pengurus Yayasan Al-Mustaqiem Jl. Nilam Raya No.1 Sumur Batu Kemayoran Jakarta Pusat melalui suratnya Nomor : 001/YAM/2001 tanggal 5 Pebruari 2001, tentang Tata Cara Pembagian Zakat Kepada Para Mustahiq[1], apakah ada keharusan untuk membagikan zakat mal yang telah dikumpulkan oleh panitia kepada para mustahiq secara merata atau tidak, setelah :

Menimbang:

1. Bahwa zakat adalah rukun Islam yang ketiga yang berbentuk ibadah amaliyah ijtima’iyyah (berdimensi ekonomi dan sosial) yang salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin serta mustahiq lainnya.

1. Bahwa untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka Allah SWT telah menetapkan orang-orang yang berhak menerima zakat, yang dikenal dengan istilah para mustahiq (mustahiqqin) yang berjumlah delapan kelompok.

1. Bahwa dalam suatu masyarakat, tidak selamanya dapat dijumpai para mustahiq yang mewakili delapan kelompok secara keseluruhan, sehingga menimbulkan pertanyaan sebagian umat Islam, “apakah zakat yang telah dihimpun oleh panitia harus dibagi-bagikan kepada delapan kelompok mustahiq zakat secara merata atau tidak?”.

1. Bahwa untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam tentang Tata Cara Pembagian Zakat Kepada Para Mustahiq, apakah harus dibagi-bagikan kepada delapan kelompok mustahiq zakat secara merata atau tidak, MUI Provinsi DKI Jakarta memandang perlu untuk segera mengeluarkan Fatwa tentang Tata Cara Pembagian Zakat Kepada Para Mustahiq.

Mengingat:

1. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia (PD/PRT MUI)
2. Pokok-Pokok Program Kerja MUI Provinsi DKI Jakarta Tahun 2000 – . Pedoman Penetapan Fatwa MUI

Memperhatikan:

Saran dan pendapat para ulama peserta rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 21 Dzulqa’dah 1421 H, bertepatan dengan tanggal 15 Pebruari 2001 M, yang membahas tentang Tata Cara Pembagian Zakat Kepada Para Mustahiq.

Memutuskan:

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT dan memohon ridha-Nya memfatwakan sebagai berikut:

1. Bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah adalah orang-orang yang termasuk dalam salah satu dari delapan ashnaf yang telah disebutkan Allah SWT dalam surat at-Taubah ayat 60 sebagai berikut :

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٦٠)

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. QS. At-Taubah: 9 ( 60)

Adapun criteria masing-masing mustahiq zakat yang termasuk dalam kelompok delapan ashnaf di atas adalah sebagai berikut :

* Fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan tidak mempunyai penghasilan (pekerjaan) yang layak untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian, perumahan, dan kebutuhan primer lainnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarga yang menjadi

* Miskin adalah orang yang memiliki harta atau mempunyai usaha yang layak baginya, tetapi penghasilannya belum cukup untuk memenuhi keperluan hidup minimum bagi dirinya dan keluarga yang menjadi

* Amil adalah orang-orang yang melaksanakan kegiatan pengumpulan dan pendayagunaan zakat, termasuk tenaga administrasi, pengumpul, pencatat, penghitung, pengelola, dan yang membagikannya kepada para mustahiq.

* Muallaf adalah orang-orang yang hatinya perlu dijinakkan agar simpatik atau memeluk agama Islam atau untuk lebih memantapkan keyakinannya pada Islam.

* Riqab adalah pembebasan budak (hamba sahaya) atau segala kegiatan yang bertujuan untuk menghilangkan segala bentuk perbudakan di muka

* Gharimin adalah orang-orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan dirinya sendiri dalam melaksanakan ketaatan dan kebaikan atau untuk kemaslahatan

* Sabilillah adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau badan yang bertujuan untuk menegakkan syi’ar agama atau kemaslahatan

* Ibnu Sabil adalah orang yang melintas dari satu daerah kedaerah lain untuk melakukan perjalanan yang positif, kemudian kehabisan bekalnya bukan untuk melakukan perbuatan maksiat tetapi demi kemaslahatan umum yang manfaatnya kembali kepada masyarak atau agama Islam.

1. Para ulama berbeda pendapat tentang keharusan membagikan zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah kepada delapan ashnaf diatas secara Menurut ulama-ulama madzhab Syafi’i, zakat harus dibagikan kepada delapan ashnaf di atas secara merata dan masing-masing ashnaf minimal terdiri dari tiga orang. Sungguh pun demikian, jika pada waktu pembagian zakat yang ada hanya beberapa ashnaf saja, maka zakat boleh dibagikan hanya kepada beberapa ashnaf yang ada tanpa harus menyisihkan pembagian zakat untuk ashnaf yang tidak ada. Sementaraitu, menurut Jumhur Ulama (mayoritas ulama) yang terdiri dari ulama-ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali, bahwa zakat tidak harus dibagikan kepada delapan ashnaf di atas secara merata, melainkan boleh hanya dibagikan kepada salah satu dari delapan ashnaf di atas[2].

1. Berdasarkan penjelasan diatas, jika pada saat pembagian zakat yang ada hanya beberapa ashnaf saja, maka zakat boleh dibagikan kepada ashnaf yang ada tanpa harus disisihkan untuk ashnaf lain yang tidak ada pada saat itu. Jika seluruh hasil pengumpulan zakat sudah dibagikan semua ternyata muncul ashnaf lain yang belum menerimanya, maka mereka tidak berhak menuntut pembagian zakat.

1. Menurut fatwa yang disampaikan oleh al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ Saudi Arabia, bahwa seluruh hasil pengumpulan zakat wajib segera dibagikan kepada para mustahiq karena tujuan utama zakat adalah untuk memenuhi kebutuhan para fakir miskin dan membayar hutang para gharim[3]. Sehubungan dengah hal itu, maka hasil pengumpulan zakat harus segera dibagikan kepada para mustahiq agar segera dapat dimanfaatkan baik untuk membayar hutang, memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif maupun kebutuhan yang bersifat produktif (modal usaha). Di samping itu, hasil pengumpukan zakat tidak boleh dijadikan modal usaha oleh badan amil zakat (BAZ) atau lembaga amil zakat (LAZ) atau dipinjamkan kepada para pengusaha. Karena bisa jadi usaha tersebut merugi atau bangkrut sehingga tidak mencapai sasaran zakat, atau minimal menyebabkan penundaan pembagian zakat kepada para mustahiq.

1. Menurut kajian Fiqh Islam, zakat yang diserahkan kepada para mustahiq harus dapat mereka miliki secara Oleh karena itu, zakat tidak boleh diserahkan oleh muzakki kepada mustahiq dengan cara pembebasan hutang.[4] Sebagai contoh, ada seorang pedagang asongan meminjam uang kepada seorang muslim yang kaya. Berhubung pihak debitur tidak mampu membayar hutangnya karena krisis keuangan atau bangkrut, maka pihak kreditur bermaksud memberikan zakat kepadanya dengan cara membebaskan hutangnya. Menurut hukum Islam, hal ini tidak dibenarkan. Agar dapat dibenarkan, caranya adalah; jika pihak kreditur ingin membayar zakat dia harus menyerahkan zakatnya terlebih dahulu kepada debitur. Sesudah menerima zakat, baru dipergunakan untuk membayar hutang kepada kreditur.

Jakarta, 21 Dzulqa’dah 1421 H.

15 Pebruari 2001M.

KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA DKI JAKARTA
Ketua,ttd

Prof. KH. Irfan Zidny, MA

Sekretaris,ttd

KH. Drs. M. Hamdan Rasyid, MA

Mengetahui,Ketua Umum,ttd

KH. Achmad Mursyidi

Sekretaris Umum,ttd

Drs. H. Moh. Zainuddin

[1]Fatwa ini merupakan penyempurnaan fatwa MUI DKI tentang 8 ashnaf mustahiq zakat pada tanggal 8 Dzulhijjah 1409 H bertepatan dengan tanggal 11 Juli 1989 yang ditandatangani oleh KH. M. Syafi’i Hadzami dan Drs. H. Z. Arifin Nurdin, SH

[2]Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz ke-2, hal. .

[3]Fatawa al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyahwa al-Ifta’ Saudi Arabia, Jilid IX, hal. .

[4]Az-Zuhaili, Op. Cit.,Juz II, hal. 896