Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami mengasumsikan konsultasi online tersebut dilakukan pada situasi pandemi COVID-19 berlangsung.

Karyawan yang Tidak Masuk Kerja karena Sakit Wajib Berikan Surat Dokter

Pada prinsipnya, upah tidak dibayar apabila karyawan tidak melakukan pekerjaan atau yang dikenal dengan prinsip no work no pay.[1]

Namun, disarikan dari Jika Pekerja Sakit Tapi Tak Berikan Surat Dokter, karyawan dikecualikan dari prinsip no work no pay tersebut jika ia sakit menurut keterangan dokter sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).

Artinya, jika pekerja sakit, ia harus tetap dibayar upahnya sepanjang sakitnya disertai dengan surat keterangan dokter. Jika tidak disertai surat keterangan dokter, maka tetap berlaku no work no pay dan bahkan dapat dilakukan tindakan indisipliner.

Bolehkah Memakai Surat Dokter Konsultasi Online sebagai Izin Sakit?

Tapi, bolehkah karyawan yang sakit melampirkan surat dokter yang dibuat oleh dokter yang ditemui dalam konsultasi online sebagai surat keterangan sakit?

Sepanjang penelusuran kami, baik UU Ketenagakerjaan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan tidak mengatur secara spesifik wujud dan cara memperoleh “keterangan dokter” sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan, harus tatap muka atau boleh dengan konsultasi online. Sehingga, kami berpendapat surat keterangan dokter dari konsultasi online tersebut sah-sah saja.

Namun, yang pasti, surat keterangan dokter hanya boleh diberikan oleh dokter yang telah memeriksa sendiri kebenaran kondisi pasien yang bersangkutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Kode Etik Kedokteran Indonesia (“KODEKI”):

Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.

Sehingga, sebelum memberikan surat keterangan, dokter harus memeriksa pasien yang bersangkutan terlebih dahulu.

Legalitas Pemeriksaan Dokter via Konsultasi Online

Selanjutnya, terkait keabsahan pemeriksaan dokter yang dilakukan melalui konsultasi online, dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 74 Tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia (“Perkonsil 74/2020”) menegaskan:

Praktik kedokteran pada masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dapat dilakukan oleh Dokter dan Dokter Gigi melalui tatap muka secara langsung dan/atau melalui aplikasi/sistem elektronik berupa telemedicine dengan memperhatikan komunikasi efektif.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan “praktik kedokteran melalui aplikasi/sistem elektronik berupa telemedicine” ialah pelayanan konsultasi atau telekonsultasi yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi dengan menerapkan prinsip kerahasiaan pasien.[2]

Pelayanan telekonsultasi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk moda daring tulisan, suara, dan/atau video secara langsung untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam rangka penegakkan diagnosis, serta penatalaksanaan dan pengobatan pasien sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.[3]

Selain melakukan diagnosis, dokter juga dapat memberikan resep obat dan/atau alat kesehatan, dan surat keterangan sakit dengan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas yang tinggi.[4]

Patut diperhatikan, dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran melalui telemedicine harus mempunyai Surat Tanda Registrasi (“STR”) dan Surat Izin Praktik (“SIP”) di fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[5]

Berdasarkan ketentuan di atas, maka secara hukum, dokter yang telah mempunyai STR dan SIP diperbolehkan memberikan surat keterangan sakit bagi pasien yang diperiksa melalui telekonsultasi/konsultasi online.

Jadi, menjawab pertanyaan Anda, secara hukum karyawan yang sakit boleh melampirkan surat keterangan dokter yang diperolehnya melalui konsultasi online sebagai keterangan sakit, sepanjang keterangan yang diberikan dokter dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, dalam hal ini berarti keterangan yang diberikan tersebut benar dan tidak dipalsukan, serta diberikan setelah diperiksa sendiri kebenarannya.

Jika surat keterangan tersebut diberikan dokter yang tidak memeriksa sendiri kebenarannya, maka dokter yang bersangkutan dapat diadukan ke Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (“MKEK”) atas dugaan telah melanggar etika kedokteran, untuk selanjutnya diperiksa dan diadili oleh Divisi Kemahkamahan MKEK.[6]

Selain itu, jika dokter tersebut membuat surat dokter palsu, ia dapat dijerat pidana sebagaimana diatur Pasal 267 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 tahun.

Baca juga: Awas! Ini Jerat Pidana Pemakai Kartu Vaksin dan Hasil Tes COVID-19 Palsu

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

[3] Pasal 3 ayat (3) Perkonsil 74/2020

[4] Pasal 8 ayat (1) Perkonsil 74/2020

[5] Pasal 3 ayat (4) Perkonsil 74/2020