Suara.com – Mata minus adalah masalah kesehatan yang umum terjadi di seluruh dunia. Faktanya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksikan bahwa setengah populasi dunia akan bermata minus di tahun 2050 mendatang. Semenjak pandemi COVID-19, kurangnya waktu untuk beraktivitas di luar rumah menjadi salah satu pemicu terjadinya mata minus terutama pada anak-anak. Faktor penggunaan gadget yang intens menjadi salah satu penyebab fenonema Myopia Booming.

Ledakan Mata Minus (Myopia Booming) terjadi di beberapa negara Asia Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia dengan pertumbuhan kasus Mata Minus yang sangat signifikan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada pada 312 anak, 41% di antaranya mengalami mata minus dan 21% mengalami gangguan refraksi penglihatan yang berat.

Fenomena Myopia Booming yang Kurang Disadari oleh Masyarakat Indonesia“Menurut data yang saya pelajari dan saya temukan pada pasien-pasien saya, prevalensi kenaikan mata minus pada anak-anak sekolah di Indonesia mencapai 20%. Yang mana artinya, 10 sampai 15 dari 40 anak di setiap ruangan kelas mengalami kelainan refraksi ini dan mereka membutuhkan alat bantu penglihatan agar bisa melihat lebih jelas. Tentunya prevalensi ini meningkat dari tahun ke tahun terutama sejak pandemi COVID-19, anak-anak lebih sering menggunakan gadget atau smartphone-nya sehingga terjadinya kenaikan mata minus yang pesat,” jelas dr. Andri Agus Syah, OD, FPCO, FAAO selaku Dokter Optometri dan Praktisi Terapi Mata Minus (Orthokeratology) di VIO Optical Clinic.

Para orang tua harus menyadari bahwa fenomena Myopia Booming ini tidak bisa disepelekan karena kesehatan mata itu memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak serta prestasi belajar mereka. Mata minus yang tidak terkoreksi dengan baik bisa menimbulkan beberapa komplikasi yang berbahaya bagi kesehatan mata. Bahkan seseorang yang mengalami mata minus yang tinggi bisa berisiko besar untuk mengalami kebutaan.

Faktor penggunaan gadget yang intens menjadi salah satu penyebab fenonema Myopia Booming“Ada beberapa kondisi yang bisa timbul akibat gangguan refraksi miopi yang tidak ditangani dengan baik seperti mata malas. Mata malas kerap terjadi pada anak-anak, dimana terjadi miopi yang berat pada satu mata sehingga otak hanya mengandalkan mata yang sehat. Faktanya, penglihatan mata malas tidak bisa dibantu dengan kacamata atau lensa kontak biasa. Selain itu, mata minus yang dibiarkan bisa berisiko besar terjadinya penyakit katarak dan glaukoma. Kalau seseorang punya ukuran minus yang tinggi, dia juga punya risiko tinggi untuk mengalami ablasi retina atau retina matanya lepas,” tambah dr. Weni Puspitasari, Sp. M selaku spesialis mata di VIO Optical Clinic, Grand Galaxy – Bekasi Selatan.

Namun, kabar baiknya 80% gangguan penglihatan ini bisa dicegah sejak dini dengan berbagai cara seperti mengurangi intensitas penggunaan gadget yang berlebih, lebih sering beraktivitas di luar, dan yang paling penting selalu rutin melakukan pemeriksaan mata. Pemeriksaan mata yang baik dianjurkan untuk dilakukan setiap 6 sampai dengan 12 bulan sekali. Dengan ini, kita dapat mencegah terjadinya penyakit mata yang bisa membahayakan kesehatan mata kita.

“Ada cara yang efektif untuk bisa mengatasi mata minus pada anak-anak tanpa harus menempuh metode pembedahan. Namanya Ortho-K atau yang dikenal dengan Terapi Mata Minus (Terapi Ortho-K). Fungsi Terapi Ortho-K ini adalah membentuk ulang kornea mata yang melonjong dan tidak beraturan sehingga bentuk korneanya menjadi kembali bulat. Penggunaannya sangat efektif dilakukan saat malam hari atau pada saat tidur minimal 8 jam. Pada saat bangun dan beraktivitas, penglihatan pasien menjadi jernih tanpa bantuan kacamata atau lensa kontak. Terapi Ortho-K harus rutin digunakan sesuai dengan anjuran dokter untuk menurunkan mata minus dan menahannya agar hasilnya maksimal,” ujar dr. Andri Agus Syah, OD, FPCO, FAAO, Dokter Optometri dan Praktisi Terapi Mata Minus (Ortho-K) di VIO Optical Clinic.

American Academy of Ophthalmology mengungkapkan bahwa penggunaan Ortho-K ini sudah mendapat FDA (Food and Drug Administration) Approval sehingga aman digunakan mulai dari pasien yang usianya anak-anak hingga orang dewasa. Jadi, terapi ini termasuk alami dan tingkat keberhasilannya juga lumayan tinggi sebesar 85-90%.